Minggu, 16 Juni 2013

POLITIK: Pemerintahan SBY Menuju Negara Gagal?

REKA ARDIANSYAH  . beberapa hari lalu. Diberitakan Indonesia berada di peringkat 61 dari 170 negara yang termasuk dalam indeks negara gagal tahun 2010. Hal itu menunjukkan kondisi Indonesia saat ini sudah mulai menuju ke keadaan negara gagal.
Sementara itu, menarikkatagorisasi negara-bangsa (nation state) yang dikutip Imam Cahyono dari Stoddar.
Menurutnya, ada 4 (empat) kategori negara-bangsa:
1.Kuat (strong state);
2.Lemah (weakstate);
3.Gagal (failedstate); dan
4.Runtuh (collapsedstate).
Negara lemah
Merupakan calon potensial kegagalan negara.
Negara gagal
Merupakan tahap akhir dari kegagalan negara. Sebuah negara gagal apabila gagal memenuhi kebutuhan rakyatnya dengan baik.
Apa indikator negara gagal?
1.Indikator sosial,
2.Ekonomi,
3.Politik, maupun
4.Militer.
(Sumber: Kompas, 9/6/2005).
Tambahan:
5.Hukum (Sumber: harianpelita.com)
Bagaimana pemerintahan SBY?
Imam Cahyono mengatakan, Indonesia di ambang negara gagal. Sebab, hampir semua indikasi negara gagal sudah terpenuhi.
ad.1.Indikator sosial
Dalam hal keamanan, misalnya, rakyat kurang terlindungi. Lewat media massa kita bisa menyaksikan bagaimana orang demikian gampang diancam, dianiaya, diperkosa, bahkan dibunuh; kadang-kadang itu sekadar dipicu masalah sepele. Berita semacam itu kita saksikan hampir setiap hari tiada henti.
Konflik etnis dan agama pun tidak jarang memakan korban yang cukup besar seperti dalam kasus Sampang, Poso, Ambon, dan Papua. Meskipun demikian, sering akar sesungguhnya dari konflik itu adalah ketidakadilan, ketidakpastian hukum, ketidaksejahteraan rakyat; atau konflik sengaja diciptakan untuk kepentingan politik lokal maupun asing.
Tekanan Amerika terhadap terorisme di Indonesia
Di Indonesia, terorisme pun harus ditafsirkan berdasarkan versi AS—mulai dari defenisi terorisme yang harus diartikan sebagai setiap pihak yang menyerang kepentingan AS; siapa pelakunya (umat Islam, kelompok Islam, dan lebih spesifik lagi mereka yang ingin menegakkan syariat Islam); sampai pada apa yang harus dilakukan (buat berbagai jebakan dan rekayasa, tangkap dan aniaya aktifis Islam [meskipun bertentangan dengan HAM] karena mereka adalah teroris, buat undang-undang terorisme yang intinya harus sejalan dengan kepentingan AS, buat badan-badan anti terorisme dengan target kelompok Islam, dll). Tekanan asing ini demikian terasa kalau kita melihat siapa yang mendanai semua proyek ini, yakni negara-negara seperti AS dan Australia.
ad.2. Indikator ekonomi
Bagaimana dengan korupsi? Jangan diperdebatkan lagi; Indonesia termasuk negara yang paling korup di dunia. Korupsinya bersifat massal dan melembaga. Karena sudah demikian melembaga, ada yang khawatir, kalau kasus korupsi di Indonesia dibongkar seluruhnya, Indonesia akan collaps (hancur), karena hampir tidak ada sub-sistem yang tidak korup.
Agenda Amerika
Belum lagi agenda-agenda War on Terorisme (WOT) yang dibidani oleh AS, yang demikian serius dijalankan Indonesia. Indonesia pun dipaksa untuk mengikuti skenario AS dalam WOT.
Tekanan Amerika terhadap ekonomi di Indonesia
Tekanan asing dalam masalah ekonomi lebih tampak lagi. Bahkan sejak awal pembangunan ekonomi, Indonesia sebenarnya dibangun berdasarkan agenda-agenda kapitalisme seperti: pembangunan bertahap (Repelita); utang luar negeri; investasi asing pada sektor-sektor pemilikan umum seperti minyak, gas, dan emas; ketundukan pada rezim mata uang dolar; sistem perbankan, privatisasi sektor umum; dll.
Indikator yang paling jelas adalah kegagalan pemerintahan SBY memenuhi kebutuhan rakyatnya.
Kasus busung lapar mencerminkan hal ini. Yang lebih menyedihkan, secara nasional jumlah balita yang kekurangan gizi di Indonesia ternyata sangat besar. Menurut hasil Susenas 2003, seikitar 27.3% balita Indonesia kekurangan gizi. Artinya, dari jumlah 18 juta balita pada tahun 2003, 4.9 juta mengalami masalah gizi buruk. Tahun 2005, sesuai proyeksi/prakiraan penduduk Indonesia oleh BPS, anak usia 1-4 tahun adalah sebanyak 20.87 juta. Jika angka 27.3% digunakan, diperkirakan sebanyak 5.7 juta anak balita mengalami masalah gizi buruk. Balita yang mengalami busung lapar atau kekurangan gizi sangat parah adalah sebanyak 8%, yaitu 1.67 juta balita. Inilah potret kualitas hidup mayoritas rakyat negeri yang kaya-raya ini.
ad.3.Indikator politik
Legitimasi negara semakin berkurang saja. Rakyat semakin tidak percaya bahwa negara mengurus mereka. Dibakarnya pencuri sepeda motor atau maling ayam mencerminkan ketidakpercayaan masyarakat pada hukum yang seharusnya ditegakkan negara. Perusakan tempat hiburan, perjudian, dan pelacuran juga merupakan cerminan dari ketidakpercayaan rakyat pada hukum dan aparat. Lihat pula gejala apatisme massal terhadap para calon dalam Pilkada yang disuarakan masyarakat, “Siapapun calonnya sama saja, saya tetap saja miskin!”
ad.4.Indikator militer
Indikator yang juga cukup jelas adalah lemahnya negara dalam menghadapi tekanan asing hampir di segala aspek. Budaya kapitalistik seperti hedonisme, seks bebas, dan narkoba bagai gelombang air bah yang seakan tidak bisa dihentikan negara. Secara politik, Indonesia gagal menyelesaikan krisis Timor Timur (dulu) dan Aceh sebagai perkara internal. Indonesia pun harus meminta bantuan asing untuk masalah Aceh.
ad.5.Indikator hukum
Di bidang hukum juga demikian. Kesan “tebang pilih” masih terlihat mencolok. Hukum hanya “berlaku” bagi kaum yang lemah dan masyarakat di strata bawah. Bagaimana dengan penggede-penggede dan orang berduit? Hukum bukan apa-apa bagi mereka. Dengan suap sana, suap sini; hukum bisa dibuat tumpul, bahkan tunduk kepada mereka. Sudah banyak buktinya! (Sumber: harianpelita.com)
Pertanyaan mendasar dari semua ini adalah, pemerintahan SBY lemah, gagal, bahkan di ambang kehancuran?
Jawabannya jelas, karena kita mengadopsi dan menggunakan sistem kapitalisme yang sakit. Jelasnya, karena pemerintahan SBY terlalu neolib. Terlalu pro Amerika.Terlalu pro kapitalis asing.
Solusi
1.Indonesia memerlukan banyak LSM yang aktif memberikan pendidikan dan pencerahan politik kepada masyarakat Indonesia agar tidak salah memilih pemimpin dan wakil rakyat
2.Rakyat harus memilih pemimpin yang berjiwa nasional dan pro rakyat.
Referensi artikel: 1.http://inspiring2020.multiply.com/journal/item/5/THE_FAILED_STATE_Negara_Gagal
2. http://www.harianpelita.com/read/15950/32/assalamualaikum/indonesia-menuju-negara-gagal-/
 M. reka ardiansyah lubis

                     Revolusi Sosial “Biadab” Di Simalungun Yang Dilupakan  

 penulis reka ardianysah lubis


 

 

Laskar revolusi ”republiken” menggeledah dan membakar istana-istana raja Simalungun, Melayu dan Sibayak Karo. Cerita dan derita kaum bangsawan di Sumatera Timur adalah pengorbanan, bagian dari kelamnya sejarah Republik Indonesia di Sumatera, mungkin karena dianggap sebagai duka yang mendalam dan agar dilupakan saja…..

Kasus revolusi sosial (yang pertama sekali diungkapkan oleh dr. Amir, pejabat Wakil Guberniur Sumatera kala itu ) yang terjadi di Sumatera Timur itu betul-betul suatu gerakan yang sudah direncanakan secara matang oleh kelompok-kelompok yang punya kepentingan demi pembungihangusan para kaum bangsawan (raja-raja) di Sumatera Timur. Untuk kasus di Sumatera Timur, otak di balik serangkaian tindakan kejam di luar perikemanusiaan itu adalah Markas Agung yang dilaksanakan Volksfront dengan pimpinan utama Sarwono Sastro Sutardjo, Zainal Baharuddin, M. Saleh Umar, Nathar Zainuddin dan Abdul Xarim MS yang bekerja di balik layar. Laskar yang eksekutor dalam aksi ini adalah Pesindo, Napindo, Barisan Harimau Liar, Barisan Merah (PKI) dan Hizbullah didukung buruh Jawa dari perkebunan serta kaum tani, demikian ulasan majalah Tempo edisi 50/Feb/1997.

Menurut keterangan Tengku Luckman Sinar, setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan di Jakarta, berita itu masih isyu di Sumatera Timur (maklum komunikasi tidak secanggih sekarang ini). Berita itu pun cenderung ditutupi kantor-kantor berita pemerintah fasis Jepang. Muncul isyu bahwa tentara Sekutu (Belanda, Inggris, Amerika) akan masuk ke Sumatera Timur mengurus tawanan perang Jepang setelah kekalahan Jepang terhadap Sekutu. Atas inisiatif Tengku Mansyur (kerabat Sultan Asahan) selaku Ketua Shu Sangi Kai Sumatera Timur pada tanggal 25 Agustus 1945 mengundang para tokoh dan penguasa Sumatera Timur ke rumahnya di Jl Raja/Jl. Amaliun Medan, seperti Xarim MS dan Mr. Yusuf berunding di rumahnya membentuk panitia diketuai Sultan Langkat dan wakil ketua Tengku Mansyur untuk menjelaskan kepada Sekutu, ihwal alasan mereka bekerjasama dengan Jepang. Panitia inilah yang di isyu oleh kaum kiri sebagai Comite van Onvangst, panitia yang akan menangkapi para tokoh pejuang pro kemerdekaan.

Kemudian propaganda revolusioner, seperti “rajar-raja penghisap darah rakyat”, “kaum feodal yang harus dibunuh” dan lagu “Darah Rakyat” menggema di seantero Sumatera Timur. Khusus di Simalungun, para eksekutor (laskas revolusi) ini adalah (kebanyakan ) etnis non Simalungun. Selain A. E. Saragih yang menjadi eksekutor di lapangan, tidak diketahui apakah ada etnis Simalungun alain yang duduk di belakang layar mendesain tindakan biadab itu.

Berdasarkan dokumen rahasia dari pihak Sekutu tanggal 2 Maret 1946 (sehari sebelum revolusi) sudah mereka ketahui bahwa PKI dan Barisan Harimau Liar berkolaborasi dalam tindakan biadab di Simalungun. Selain itu, Volksfront (front perjuangan rakyat) dan PARSI yang terbentuk pertengahan Februari 1946 yang mana “Pasukan Kelima” dari dr. F. J. Nainggolan turut bergabung. Lalu Organisasi Pemuda Pejuang (PESINDO) telah disusupi dan dipengaruhi oleh PKI.

Tetapi yang lebih mengejutkan dari penelitian Tengku Luckman Sinar, ternyata aksi revolusi sosial itu ternyata sudah sejak lama direncanakan pihak Belanda, yakni sejak tahun 1906, dimana wilayah kekuasaan dan otorisasi kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur berhasil dikerdilkan, bahkan ada yang dihapus, seperti kerajaan Riau (1911). Pada tahun 1926, Belanda sudah mengangkat panitia untuk gagasan “pemberangusan raja-raja di Sumatera Timur,” yaitu Extraterritorialiteitcommisie yang bertujuan bahwa wilayah pemerintahan sendiri (kerajan-kerajaan) yang otonomi itu harus dilenyapkan secara perlahan-lahan dan tatkala raja-raja sudah tidak ada lagi maka demokrasi lokal akan berkembang dan lenyaplah kerajaan bumiputera itu. Dan untuk tujuan itu, Belanda telah memakai agennya bernama dr. Amir, Wakil Gubernur Sumatra kala itu, seorang theosof lulusan Belanda yang beristrikan seorang Belanda. Dr.Amir membelot ke NICA pada 23 April 1946 dan meninggal di Belanda tahun 1949.

Pembantaian atas kaum bangsawan Simalungun ini memang sejarah yang sulit diterima logika. Dengan tuduhan sebagai “antek penjajah” yang dialamatkan kepada kaum bangsawan Sumatera Timur, dan atas tuduhan ini dijadikan dasar untuk tindakan pembantaian, perampokan bahkan pemerkosaan. Perbuatan keji, amoral dan tidak manusiawi, tindakan manusia-manusia yang tidak ber-Tuhan. Hasil Penelitian Tengku Luckman Sinar membuktikan bahwa tindakan segerombolan orang yang mengaku “republikein” itu merupakan proyek rahasia dari Markas Agung, yang kala itu dipimpinan oleh para “komunis” Sarwono dan Zainal Baharuddin dan Saleh Umar serta eksekutor lapangan A. E. Saragihras dari Barisan Harimau Liar (BHL) di Simalungun.

Dalam rekam pemeriksaan oleh pihak berwajib, para eksekutor ini mengaku bahwa tindakan membabibuta itu digerakkan atas perintah Sarwono, Saleh Umar dan Yacob Siregar sebagai gembongnya. Yaitu untuk melenyapkan sistem kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur, yang dituduh sebagai penghalang kemerdekaan Republik Indonesia. Eksekusi dilaksanakan mulai pukul 00.00 WIB tanggal 3-4 Maret 1946 tepat pada saat Gubernur Sumatera, Teuku Mohammad Hasan, tidak berada di kota Medan. Ternyata Gubernur sudah “sengaja” diatur Markas Agung untuk melakukan kunjungan ke Sumatera Selatan. Karena keberadaan Gubernur Teuku Mohammad Hasan di Medan dianggap akan menjadi penghalang rencana Markas Agung tersebut.

Teuku Hasan menulis: “Firasat itu benar, 1 Maret bertempat di kediaman Mr. Luat Siregar di Medan, volksfront/PKI—M. Yunus Nasution dan Marzuki Lubis bersama divisi IV-TRI-Kol. A. Tahir dan Mahruzar (adik Sutan Syahrir), dan dengan bantuan wakil gubernur Moh. Amir—bermusyawarah untuk menumpas kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur pada tanggal 3 Maret 1946. [21]Wakil Gubernur Mohammad Amir yang sepaham dengan Markas Agung (Residen Abdul Karim) mengatur perjalanan Gubernur mulai 6 Februari 1946. Di saat Gubernur tidak berada di Medan, dilancarkanlah aksi pembantaian tersebut. Sehari sebelum Gubernur berangkat ke Sumatera Selatan, Residen Sumatera Timur,Tengku Hafas (yang kemudian dipecat Markas Agung), mengunjungi Gubernur Teuku Mohammad Hasan di rumahnya. Hafas mengungkapkan firasat buruknya bahwa sepeninggal Gubernur Teuku Mohammad Hasan akan terjadi suatu peristiwa.
Source, klik disini

Kronologi Revolusi Sosial “Biadab” Sumatera Timur , 1946

Pada tanggal 3 Februari 1946 diadakan Rapat Komite Nasional Indonesia (KNI), para Raja-raja Simalungun, Karo Sibayak dan Sultan seluruh Sumatera Timur, kemudian menyatakan “ikrar” di hadapan Gubernur Mohammad Hasan, Wakil Gubernur dr. Moh. Amir, Tengku Hafaz, Abdul Xarim MS dan pejabat Republik lainnya, untuk mendukung dan berdiri di belakang pemerintah Republik Indonesia. Para Sultan dan Raja-raja Sumatera Timur yang hadir diantaranya : Sultan Siak Sri Indrapura dari Riau. Dari Simalungun hadir Raja Panei Tuan Bosar Sumalam Purba Dasuha, Raja Purba Tuan Mogang Purba Pakpak, Raja Silimakuta Tuan Padiraja Purba Girsang yang sudah aktif di Markas Agung, Raja Siantar Tuan Sawadim Damanik, Raja Raya diwakili Tuan Jan Kaduk Saragih Garingging dan Raja Tanoh Jawa Mr. Tuan Kaliamsyah Sinaga.

Rapat Komite Nasional Indonesia (KNI) itu dipimpin oleh Ketua KNI Sumatera Timur Mr. Luat Siregar. Sultan Langkat pada waktu itu mewakili seluruh pemerintah swapraja Sumatera Timur mengucapkan pidato yang salah satunya berbunyi: “Kami sultan-sultan dan raja-raja telah mengambil keputusan bersama untuk melahirkan sekali lagi itikad kami bersama untuk berdiri teguh di belakang Presiden dan Pemerintah Republik Indonesia dan turut menegakkan dan memperkokoh Republik kita”. Demikian tegas pernyataan para bangsawan ini, aksi pembantaian tetap berlangsung dan diiringi tindakan keji perampokan harta benda para kaum bangsawan, pembakaran dan perusakan istana kerajaan bahkan pemerkosaan.

Di Istana Tanjungpura, Kesultanan Langkat, 2 puteri Sultan Langkat diperkosa oleh Republiken. Demi menyelamatkan nyawa ayah mereka, Sang Sultan Langkat, kedua putrid Sulatan Langkat terpaksa bersedia melayani nafsu berahi “binatang” yang kemudian dikenali bernama Marwan dan Usman Parinduri. Kebiadaban dituliskan oleh Tengku Luckman Sinar, “… kedua puteri itu meraung kesakitan dan setiap rintihan merupakan pisau sembilu menusuk jantung Sultan yang mendengar ….”

Di Simalungun, pembataian dikomandoi Komandan Barisan Harimau Liar (BHL), A. E. Saragih Ras. Padahal A. E. Saragih Ras masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Raja Kerajaan Panei. Menurut Tengku Luckman Sinar : “Kebanyakan pelaksana Pembantaian raja-raja di Simalungun adalah orang-orang ari suku Toba, meskipun pimpinan utamanya adalah Saragihras dan Saleh Umar. Kedua orang inilah yang memberikan instruksi rahasia untuk menangkapi raja-raja di Simalungun kepada Pesindo”.

Adalah Mohammad Said, yang mewawancarainya AE. Saragihras dipenjara, setelah para pelaku pembataian ditangkap dan dihukum. Menurut pengakuan Saragihrasi, bahwa dia pada tahun 1944 sudah menjadi anggota Kenkoku Teisintai (Barisan Harimau Liar) yang dibentuk Inoue dan tahun 1945 memimpin BHL. Perintah menghabisi para raja itu diperoleh atas perintah Sarwono pimpinan Markas Agung dan Sekretaris Zainal Abidin yang mengunjunginya menyampaikan perintah rahasia itu. Saleh Umar pimpinan tertinggi Markas Agung waktu itu sempat dimintai ketegasan hitam di atas putih oleh Saragihras, namun dijawab oleh Saleh Umar mengatakan : “Perintah ini adalah rahasia dan sayalah yang menanggung akibatnya”. Masih menurut Saragihras : “Dari perintah Saleh Umar itu, raja-raja yang dianggap penghalang kemerdekaan yang harus dihabisi adalah Raja Panei Tuan Bosar Sumalam Purba Dasuha, pemangku Raja Raya Tuan Jan Kaduk Saragih Garingging dan lain-lain.


Untuk Kerajaan Tanoh Jawa, pembatai kaum bangsawan dipercayakan kepada Bagus Saragih , Pimpinan PKI di Tanoh Jawa. Harta rampasan dari para bangsawan itu kemudian diserahkan pada awal tahun 1949 kepada Mohammad Saleh Umar, yang waktu itu telah diangkat menjadi Residen Sumatera Timur (setelah menggulingkan Tengku Hafaz). Harta benda bangsawan itu pernah dipakai sebanyak dua kali, pertama untuk membiayai perbekalan TNI di Sidikalang dan kedua, ketika mereka berada di Pasar Matanggor (Tapanuli Selatan) untuk membeli senjata dari Singapura yang untuk ini ditugaskan Saleh Umar kepada saudagar Tionghoa Oei Boen Tjoen yang ternyata melarikannya. Selanjutnya harta benda yang tersisa diserahkan kepada komandan teritorium Sumatera Kolonel Alex Kawilarang pada tahun 1950. Yang sempat dirampas Belanda sempat disimpan di kluis NHM Pematangsiantar dibawah pengawasan Teuku Mohammad Hasan dan dikembalikan kepada pemiliknya tahun 1948.

Majapahit Adalah (Bukan) Kesultanan Islam

Pertama,  mengenai ditemukan atau adanya koin-koin emas Majapahit yang bertuliskan kata-kata ‘La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah’
Koin Dengan Lafaz Kalimat Tauhid
Ulasan saya:
Pada tahun 2009, Tim Evaluasi Neo Pusat Informasi Majapahit (Neo PIM) menemukan peninggalan-peninggalan kerajaan Majapahit di situs Trowulan yang salah satunya adalah ribuan mata uang kuno dari Tiongkok.  Mata uang tersebut bertuliskan huruf Tiongkok, dan jumlahnya sekitar 60 ribu keping.
Apakah ini menandakan bahwa Majapahit adalah kerajaan yang beragama Konghucu, Taoisme, atau agama apapun yang berasal dari Tiongkok?
Atau, apakah Majapahit merupakan kerajaan bawahan (vassal) dari Kekaisaran Tiongkok?
Tentu saja bukan.
Peninggalan berupa uang koin Tiongkok yang ditemukan di wilayah kerajaan Majapahit pertanda adanya hubungan dagang dengan negeri Tiongkok. Para pedagang dari Tiongkok kerap membawa mata uang negerinya yang terbuat dari emas, perak atau perunggu untuk dibawa ke Majapahit. Hal ini wajar saja mengingat pada zaman tersebut emas, perak, atau perunggu merupakan alat pembayaran yang lazim digunakan dimana saja. Yang membedakan nilainya adalah berat dari emas/perak itu sendiri. Majapahit sendiri mengeluarkan uang lokal yang disebut dengan Gobog.
Koin Tiongkok Pada Zaman Majapahit
Penemuan koin emas yang bertuliskan kalimat tauhid dengan huruf Arab pun menandakan para pedagang dari Timur Tengah telah menjalin hubungan dagang dengan para pedagang nusantara, khususnya Majapahit. Terlalu tergesa-gesa bila menyimpulkan Majapahit adalah Kerajaan Islam karena ditemukannya koin emas berlafazkan “La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah”.
Penduduk lokal Majapahit mungkin sudah ada yang memeluk Islam yang disebarkan para pedagang/ulama yang datang dari Timur Tengah, tapi tidak dapat disimpulkan bahwa kerajaan Majapahit adalah kerajaan/kesultanan Islam.
Kedua, mengenai penemuan pada batu nisan Syeikh Maulana Malik Ibrahim yang selama ini dikenal sebagai Wali pertama dalam sistem Wali Songo yang menyebarkan Islam di Tanah Jawa terdapat tulisan yang menyatakan bahwa beliau adalah hakim agama Islam kerajaan Majapahit.
Ulasan saya:
Pada nisan makam Syeikh Maulana Malik Ibrahim atau Syeikh Maghribi atau Sunan Gresik, terdapat inskripsi yaitu surat al-Baqarah ayat 225 (ayat Kursi), surat Ali Imran ayat 185, surat al-Rahman ayat 26-27, dan surat al-Taubah ayat 21-22 serta tulisan dalam bahasa Arab yang artinya:
Ini adalah makam almarhum seorang yang dapat diharapkan mendapat pengampunan Allah dan yang mengharapkan kepada rahmat Tuhannya Yang Maha Luhur, guru para pangeran dan sebagai tongkat sekalian para Sultan dan Menteri, siraman bagi kaum fakir dan miskin. Yang berbahagia dan syahid penguasa dan urusan agama: Malik Ibrahim yang terkenal dengan kebaikannya(dalam terjemahan lain disebut: terkenal dengan Kakek Bantal-red). Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya dan semoga menempatkannya di surga. Ia wafat pada hari Senin 12 Rabi’ul Awwal 822 Hijriah.
Tidak ada dalam inskripsi tersebut yang menyatakan bahwa beliau adalah hakim agama Islam di kerajaan Majapahit. Terjemahan Sultan dan Menteri dalam inskripsi tersebut menurut Macchi Suhadi yang mengacu pada pendapat Usman bin Yatim bin Abdul Halim Nasir ditujukan untuk Sultan Samudera Pasai, karena menurutnya nisan Maulana Malik Ibrahim berasal dari Pasai karena memiliki kemiripan dengan nisan makam sultan-sultan dari Samudera Pasai. Tjandrasasmita (1983:283) malah berpendapat  bahwa kuat dugaan bahwa sultan dan menteri yang berduka dengan meninggalnya Maulana Malik Ibrahim itu berasal dari Gujarat dan Samudera pasai, yang mengirimkan jirat dan nisan beserta pertulisannya tersebut, sebagai tanda hormat kepadanya.
Kalau memang perkataan Sultan dan Menteri itu merujuk kepada Majapahit, mengapa di peninggalan Majapahit seperti di candi-candi, tidak menggunakan huruf Arab?
Batu nisan yang ada di makam Maulana Malik Ibrahim jelas dibuat oleh orang/pihak yang mengenal beliau. Yang jelas, inskripsi tersebut menceritakan bahwa yang dimakamkan bukanlah orang sembarangan. Maulana Malik Ibrahim selain dikenal sebagai ulama, beliau juga terkenal sebagai pedagang, dan ahli pengobatan. Kalau memang ada para bangsawan/raja Majapahit yang mengenal beliau, atau bahkan menganut agama Islam karena beliau, bukan berarti menandakan bahwa kerajaan Majapahit merupakan Kerajaan Islam. Lebih-lebih bila tulisan dalam nisan Maulana Malik Ibrahim dianggap sebagai bukti bahwa beliau adalah menteri dari Majapahit.
Pertanyaan saya adalah, kalau Maulana Malik Ibrahim memang benar seorang menteri di Majapahit, terus kenapa?
Kita bandingkan dengan negeri Tiongkok.
Mengapa tidak ada yang menarik kesimpulan yang menyatakan bahwa kekaisaran Tiongkok pada masa lalu adalah negara Islam? Padahal kekaisaran Tiongkok  memiliki Laksamana Cheng Ho, seorang muslim asli Tiongkok, pemimpin armada laut dalam ekspedisi pelayaran Tiongkok, juga merupakan kasim di negeri itu.
Ketiga, perihal lambang Majapahit yang berupa delapan sinar matahari terdapat beberapa tulisan Arab, yaitu shifat, asma, ma’rifat, Adam, Muhammad, Allah, tauhid dan dzat.
Ulasan saya:
Dibawah ini adalah gambar yang dianggap bukti bahwa pada lambang Majapahit terdapat tulisan Arab:
Gambar Pertama
Bandingkan dengan gambar yang ini yang juga gambar lambang Majapahit:
Gambar Kedua
Pada gambar pertama, seolah-olah huruf arab tersebut merupakan huruf yang benar-benar tercetak pada artefak Surya Majapahit. Menurut saya, huruf Arab yang diberi penekanan pada gambar tersebut tidak lebih merupakan persepsi yang dipaksakan oleh pihak yang menganggap Majapahit merupakan kerajaan Islam. Hal ini tidak dapat diterima begitu saja sebagai bukti bahwa Majapahit merupakan kerajaan Islam.
Ini seperti foto tentang misteri monster danau Loch Ness.
Foto di samping ada yang menganggap sebagai foto penampakan makhluk misterius yang ada di danau Loch Ness, dan ada yang menganggap sebagai foto biasa yang menganggap hal itu mungkin saja batu atau kayu yang ada di danau tersebut. Akibat foto ini, sudah banyak uang yang dikeluarkan untuk ekspedisi mengungkap misteri makhluk misterius danau Loch Ness karena meyakini kalau foto tersebut benar-benar merupakan penampakan dari monster yang ada di danau tersebut.
Tetapi…
Pada tahun 1994, misteri tentang foto tersebut terungkap. Foto tersebut adalah rekayasa. Foto itu adalah foto mainan kapal selam yang di atasnya ditempel mainan ular naga laut (bentuk leher memanjang). Selama 60 tahun foto tersebut dipercaya sebagai bukti keberadaan monster danau Loch Ness.
Keempat, pendapat yang menyatakan pendiri Majapahit, Raden Wijaya, adalah seorang muslim. Hal ini karena Raden Wijaya merupakan cucu dari Raja Sunda, Prabu Guru Dharmasiksa yang sekaligus juga ulama Islam Pasundan.
Ulasan saya:
Saya sungguh tidak tahu atas dasar apa ada pendapat yang menyatakan bahwa pendiri Majapahit, Raden Wijaya, adalah seorang muslim dan Prabu Guru Dharmasiksa adalah seorang ulama Islam. Hingga kini, saya belum menemukan sumber otentik, bahkan cerita rakyat sekalipun yang menyatakan Raden Wijaya serta Prabu Guru Dharmasiksa adalah seseorang yang menganut agama Islam.
Lepas dari itu, Raden Wijaya dipercaya merupakan anak dari Dyah Lembu Tal. Beberapa sumber memiliki redaksi yang berbeda tentang Dyah Lembu Tal, yaitu:
a. Menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, Lembu Tal atau Dyah Singamurti adalah putri dari Mahisa Campaka, putra Mahisa Wonga Teleng, putra Ken Arok, pendiri Kerajaan Singhasari.
Lembu Tal menikah dengan Rakeyan Jayadarma, putra Prabu Guru Darmasiksa raja Kerajaan Sunda-Galuh yang memerintah tahun 1175-1297. Dari perkawinan itu lahir Raden Wijaya.
b. Menurut Negarakertagama, Dyah Lembu Tal adalah seorang laki-laki, anak dari Narasinghamurti.
Keterangan dalam Negarakertagama diperkuat oleh prasasti Balawi yang diterbitkan oleh Raden Wijaya sendiri pada tahun 1305 M. Dalam prasasti itu Raden Wijaya mengaku sebagai anggota asli Wangsa Rajasa, yaitu dinasti yang menurut Pararaton didirikan oleh Ken Arok, penguasa pertama Kerajaan Singhasari.
Jadi, keterangan tentang Raden Wijaya yang merupakan cucu dari Dharmasiksa sendiri masih perlu diteliti. Mungkin saja Raden Wijaya memang cucu Dharmasiksa seperti yang tercantum dalam Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara. Raden Wijaya dibawa pergi oleh Lembu Tal dari Sunda dan akhirnya menetap kembali di Singasari. Untuk meyakinkan legitimasinya di Majapahit, Raden Wijaya menggunakan silsilah yang ia buat dari garis keturunan Singasari. Sebagaimana raja-raja Mataram Islam yang menggunakan silsilah hingga ke Nabi Adam untuk memperkuat legitimasinya. Atau malah, Raden Wijaya sama sekali tidak memiliki darah Sunda? Ini merupakan kajian yang masih harus diteliti kebenarannya.
Adapun Prabu Guru Dharmasiksa sendiri memang terkenal akan ajarannya yaitu Amanat Galunggung yang intinya merupakan amanat yang bersifat pegangan hidup, amanat tentang perilaku negatif, dan amanat tentang perilaku positif. Tidak ada redaksional yang mengarah kepada kesimpulan bahwa Dharmasiksa adalah seorang muslim. Amanat Galunggung sendiri dipercaya merupakan khazanah lokal budaya Sunda yang berasal dari agama Sunda Wiwitan (agama Sunda Kuno).
Mengenai Gajah Mada sendiri, ada yang mengatakan kalau itu adalah gelar. Pada masa itu, memang lazim digunakan nama-nama hewan sebagai gelar seperti Prabu Gajah Agung, Lembu Agung, Lembu Tal, Gajah Kulon, Kebo Anabrang, dan lain-lain. Belum dapat dipastikan apakah Gajah Mada benar-benar nama asli atau bukan. Hanya saja, kesimpulan bahwa Gajah Mada adalah Gaj Ahmada sungguh sangat lucu. Apakah arti Gaj itu? Lalu, mengapa dengan mudahnya memenggal nama Gajah Mada menjadi Gaj Ahmada?  Mengapa tidak Ga Jahmada, Gajahma Da? Atau G.Ajah Mada?
Adapun mengenai gelar pada Raden Wijaya yang bukan justifikasi bahwa dia adalah seorang Hindu, masih bisa saya terima. Tapi, bila harus membandingkan Kertarajasa Jayawardhana (gelar Raden Wijaya) dengan Sultan Hamengkubuwono, itu jelas berbeda.
Bisa saja seorang muslim memakai gelar dengan Bahasa Sanskerta seperti Kertarajasa Jayawardhana, tetapi tidak bagi non muslim yang menggunakan gelar Sultan. Sultan adalah gelar identitas kekuasaan dan keagamaan, sama seperti Paus pada agama Katholik dan Tahta Suci Vatikan. Kesultanan merupakan bentuk pemerintahan khas Islam, seperti pada Banten, Aceh, Ternate, dan yang lainnya. Pada masa sekarang, mungkin seperti Kesultanan Yogyakarta dan Kesultanan Brunei Darussalam contohnya. Bila sang Sultan sudah tidak Islam, maka Kesultanan pun berubah menjadi, Kekaisaran Brunei, atau Republik Ngayogyakarto.
Untuk menjelaskan bahwa Sultan adalah suatu gelar identitas, saya ajukan pertanyaan sederhana.
Sultan Henry XIV dengan Paus Yazid III. Menurut anda, manakah di antara mereka yang seorang muslim?
Kelima, tentang  keturunan Arab  yang banyak menjadi penguasa di Nusantara.
Ulasan saya:
Memang ada kerajaan di Nusantara yang didirikan oleh seorang keturunan Arab Islam, contohnya adalah Kesultanan Perlak di Aceh (840-1292). Tetapi, saya bertanya singkat saja:
Siapakah pendiri Majapahit?
Sudah tentu Raden Wijaya yang berasal dari Nusantara sendiri (kalau tidak Jawa, ya Sunda. Lihat ulasan keempat di atas).
Di luar kelima hal yang dianggap sebagai bukti di atas, ada yang berpendapat seperti ini:
“jika Majapahit adalah kerajaan besar yang beragam Buddha atau Hindu, harusnya sampai saat ini agama terbesar di nusantara ini tentunya Buddha dan Hindu. karena yang namanya keyakinan itu pasti mengakar kuat. Tapi kenyataannya agama terbesar sampai saat ini dari sejak nusantara sampai sekarang adalah Islam.
Ini pararel dengan kenyataan bahwa Muhammadiyah atau Nahdlatul Ulama yang masih eksis berdiri sampai sekarang walapun sudah 60 tahun. dan itu baru organisasi, bukan sebuah kerajaan besar. Apalagi tentunya jika dibandingkan dengan kerajaan sebesar Majapahit. tentunya itu akan mewarisi ideologi/agama yang kuat. kenapa tidak Buddha atau Hindu yang besar? Melainkan Islam?”
Menurut saya pendapat di atas menafikan fakta sejarah yaitu munculnya kerajaan-kerajaan Islam di seluruh Indonesia, dari Aceh hingga Maluku, baik sezaman  dengan Majapahit, maupun setelah Majapahit runtuh. Tentu hal ini, berpengaruh pada cepatnya penyebaran Islam di Indonesia. Perlu diketahui, saat Majapahit runtuh, tidak ada kerajaan non-Islam (Hindu-Buddha) di Indonesia yang pengaruhnya sebesar  atau melebihi Majapahit.
Kita ambil contoh negara India. Sebelum Republik India resmi berdiri, India pernah berada dalam pemerintahan Mughal, suatu pemerintahan Islam dari abad 16 hingga 19. Peninggalannya yang terkenal adalah Taj Mahal, bangunan bercorak Islam yang menjadi kebanggaan masyarakat India. Tapi kini, nyatanya India adalah negara dengan populasi Hindu terbanyak di dunia.
Menurut saya, pendapat yang menyatakan bahwa Islam berkembang sejak zaman Majapahit itu mungkin saja benar, tetapi kesimpulan bahwa Majapahit merupakan Kesultanan Islam adalah kesimpulan yang terburu-buru dan perlu diteliti lagi kebenarannya.
Sejarah tidak pernah bohong, dan pembohongan atas sejarah mutlak harus diluruskan. Maka tulisan ini mungkin akan sedikit membantu tentang pelurusan sejarah tentang Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya.

Tentang Majapahit

Selain Nagarakertagama karangan Mpu Prapanca, maka tak ada satupun prasasti yg menguatkan tentang wilayah-wilayah di bawah kekuasaan Majapahit. Di dalam teks-teks kuno menyebutkan kerajaan yang sekarang terkenal sebagai Majapahit - diduga - adalah Wilwatikta/Vilvatikta. Bahkan nama Majapahit itu selain hanya Pararaton yang menyebutkan asal nama Majapahit dari buah mojo yang terasa pahit. Di dalam prasasti yang dikeluarkan Wisnuwardhana sbg penguasa Jawa ( dgn kerajaan bernama Bhumi Tumapel yg beribukotakan Kutaraja lalu kelak Singosari ) tahun 1255 masehi, jelas sekali nama Wilwatikta blm muncul.
Majapahit atau wilwatikta yg konon berdiri pada tahun 1293 M pasca serangan Mongol, tiba-tiba menjadi peradaban yang melegenda. sebuah peradaban lain di Jawa bernama Virabhumi ( berdiri tahun 1295 tak lama pasca serangan Mongol )

Di tanah Virabhumi yg terletak Lumajang banyak sekali peninggalan sejarah yg masih berdiri atau baru ditemukan namun tdk pernah dipedulikan di tanah Virabhumi yg terletak Lumajang banyak sekali peninggalan sejarah yg masih berdiri atau baru ditemukan namun tdk pernah dipedulikan. Jika ’sesuatu’ ditemukan sekalipun benda penemuan itu kecil, cenderung dibesar-besarkan sebagai bagian dari ‘keagungan’ Majapahit. Salah satu contoh kebodohan Tim arkeologi nasional yang melakukan penelitian terhadap situs bersejarah di Desa Negeri Baru, Kecamatan Benua Kayong, Ketapang. Dalam penelitian itu, tim arkeolog ingin mendalami hubungan situs bersejarah di daerah tersebut dengan kerajaan Majapahit. Nmpak sesuatu yang dipaksakan ingin menghubung- hubungkan Ketapang dengan Majapahit.

Rupanya Kerajaan majapahit adalah Kerajaan yang kecil dibesar- besarkan, namanya saja aneh: Buah yang pahit. Majapahit itu kerajaan yang kecil bahkan dibesar- besarkan. Kebohongan tentang Sejarah Kejayaan  Kerajaan Majapahit terungkap dalam blog "Majapahit Bukan Peradaban Pertama Nusantara"

Tentang Sriwijaya

Inilah kerajaan yang menguasai Nusantara pada abad ke-8 dan ke-9 M saat diperintah Raja Balaputradewa yaitu Srivijaya (Sriwijaya) Lihat di jauh sebelum Majapahit berdiri Kerajaan Sriwijaya sudah berdiri.

Sebagian bukti "Kejayaan Sriwijaya" Dari prasasti Kota Kapur yang ditemukan JK Van der Meulen di Pulau Bangka pada bulan Desember 1892 M, diperoleh petunjuk mengenai Kerajaan Sriwijaya yang sedang berusaha menaklukkan Bumi Jawa. Meskipun tidak dijelaskan wilayah mana yang dimaksud dengan Bhumi Jawa dalam prasasti itu, beberapa arkeolog meyakini, yang dimaksud Bhumi Jawa itu adalah Kerajaan Tarumanegara di Pantai Utara Jawa Barat.

Sampai sekarang Kerajaan Sriwijaya masih jaya dan eksis Buktinya -> Kesultanan Malaka Salah Satu Warisan Kejayaan Kerajaan Sriwijay. Di blog disebutkan bahwa Parameswara merupakan turunan ketiga dari Sri Maharaja Sang Utama Parameswara Batara Sri Tri Buana (Sang Nila Utama), seorang penerus raja Sriwijaya[1]. Sang Nila Utama mendirikan Singapura Lama dan berkuasa selama 48 tahun. Kekuasaannya dilanjutkan oleh putranya Paduka Sri Pekerma Wira Diraja (1372 – 1386) yang kemudian diteruskan oleh cucunya, Paduka Seri Rana Wira Kerma (1386 – 1399). 

Tentang keruntuhan kerajaan Majapahit oleh Kerajaan Melayu bukan Kerajaan majapahit. Diceritakan bahwa serbuan-serbuan Colamandala tidak menyebabkan Kerajaan Sriwijaya runtuh, namun terasa pengaruhnya terhadap Kerajaan Sriwijaya. Sejak itu, Kerajaan Sriwijaya tidak dapat lagi mencapai kekuasaan seperti pada abad ketujuh, karena Melayu yang sejak abad ke-tujuh menjadi bawahannya, telah berdiri sendiri lagi. Demikian juga dengan bagian-­bagian lain di Semenanjung Malaka dan Sumatera yang mengasingkan diri dari Kerajaan Sriwijaya. Malik Al Saleh menjadi raja pertama di Samudera (Aceh) dan meninggal pada tahun 1396. Bahaya yang mengancam Kerajaan Sriwijaya bertambah ketika Kertanegara menyerbu Jambi pada tahun 1275 dan sejak itu Melayu (Jambi) menjadi daerah kekuasaannya. Tapi Majapahit kala itu hanya menghalang- halangi utusan yang dikirim oleh China ke Sriwijaya. Motif apa menghalang- halangi semakin tidak jelas??

Sriwijaya, Majapahit: yang mana mitos?

Status Majapahit sebagai kerajaan Agraris dengan pusat kerajaan di tengah pulau, menafikan kebesaran armada maritimnya. Ada yang menyebutkan bahwa Majapahit telah mengenal sistem kanalisasi layaknya di Belanda. Tapi mana buktinya?

Padahal Pelabuhan dan Armada Maritim yang besar, kuat, tangguh serta cepat dibutuhkan untuk mengkonsolidasi luasnya kepulauan Nusantara. Peran strategis lokasi pelabuhan juga mutlak diperlukan. Tapi dimanakah letak pelabuhan Majapahit?

Sriwijaya beribukota di tepi sungai dengan status kerajaan maritim baru saya percaya sebagai kerajaan besar. Apalagi peninggalannya terserak sampai ke Kamboja, Vietnam dan Thailand. Seni arsitektur, pakaian adat dan Agama yang sekarang ada di Thailand dan Laos diyakini mutlak bergaya Sriwijaya.

Menilik pembuktian lewat Sungai, Sungai Brantas tentu jauh berbeda dengan Sungai Musi di Palembang. Kalau memang Sungai Brantas juga pernah menjadi jalan lalu lintas kapal, pastilah ada anggota masyarakat Majapahit yang akrab dengan kehidupan  Sungai. Seperti di Musi ataupun di Bangkok.

Tapi kenapa dewasa ini tak satupun kebudayaan penduduk di sekitar aliran Sungai Brantas yang berhubungan dengan ke-sungai-an. Saya yakin, nggak mudah merubah masyarakat nelayan menjadi masyarakat petani, begitupun juga sebaliknya.
Dari makanan saja sudah kelihatan. Makananan khas Jawa Timur saja tidak ada yang berbahan dasar ikan. Berbeda dengan Palembang yang selalu menggunakan ikan sebagai teman makanan.

Bukti paling konkrit lainnya adalah, tidak adanya peninggalan kebudayaan Majapahit (Jawa) terhadap kebudayaan daerah taklukanya. Jika memang Kerajaan Majapahit sedemikian besar, pastilah  ada sesuatu yang tertinggal di daerah jajahan. Faktanya, Dialek Bahasa Papua itu 100 persen berbeda dengan Bahasa Jawa.

Sampai saat ini saya masih percaya, Bahwa kerajaan terbesar yang pernah ada di Nusantara hanyalah Sriwijaya.


Sumber:

  • http://en.wikipedia.org/wiki/Srivijaya
  • http://yasirmaster.blogspot.com/2011/04/majapahit-bukan-peradaban-pertama.html
  • http://bangsasriwijaya.blogspot.com/2011/11/kesultanan-malaka-salah-satu-warisan.html
  • http://materi-forever.blogspot.com/2012/06/kerajaan-sriwijaya.html
  • buddhakkhetta.com
  • http://roda2blog.com/2011/03/06/majapahit-hanya-ilusi/