Revolusi Sosial “Biadab” Di Simalungun Yang Dilupakan
penulis reka ardianysah lubisLaskar revolusi ”republiken” menggeledah dan membakar istana-istana raja Simalungun, Melayu dan Sibayak Karo. Cerita dan derita kaum bangsawan di Sumatera Timur adalah pengorbanan, bagian dari kelamnya sejarah Republik Indonesia di Sumatera, mungkin karena dianggap sebagai duka yang mendalam dan agar dilupakan saja…..
Kasus revolusi sosial (yang pertama sekali diungkapkan oleh dr. Amir, pejabat Wakil Guberniur Sumatera kala itu ) yang terjadi di Sumatera Timur itu betul-betul suatu gerakan yang sudah direncanakan secara matang oleh kelompok-kelompok yang punya kepentingan demi pembungihangusan para kaum bangsawan (raja-raja) di Sumatera Timur. Untuk kasus di Sumatera Timur, otak di balik serangkaian tindakan kejam di luar perikemanusiaan itu adalah Markas Agung yang dilaksanakan Volksfront dengan pimpinan utama Sarwono Sastro Sutardjo, Zainal Baharuddin, M. Saleh Umar, Nathar Zainuddin dan Abdul Xarim MS yang bekerja di balik layar. Laskar yang eksekutor dalam aksi ini adalah Pesindo, Napindo, Barisan Harimau Liar, Barisan Merah (PKI) dan Hizbullah didukung buruh Jawa dari perkebunan serta kaum tani, demikian ulasan majalah Tempo edisi 50/Feb/1997.
Menurut keterangan Tengku Luckman Sinar, setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan di Jakarta, berita itu masih isyu di Sumatera Timur (maklum komunikasi tidak secanggih sekarang ini). Berita itu pun cenderung ditutupi kantor-kantor berita pemerintah fasis Jepang. Muncul isyu bahwa tentara Sekutu (Belanda, Inggris, Amerika) akan masuk ke Sumatera Timur mengurus tawanan perang Jepang setelah kekalahan Jepang terhadap Sekutu. Atas inisiatif Tengku Mansyur (kerabat Sultan Asahan) selaku Ketua Shu Sangi Kai Sumatera Timur pada tanggal 25 Agustus 1945 mengundang para tokoh dan penguasa Sumatera Timur ke rumahnya di Jl Raja/Jl. Amaliun Medan, seperti Xarim MS dan Mr. Yusuf berunding di rumahnya membentuk panitia diketuai Sultan Langkat dan wakil ketua Tengku Mansyur untuk menjelaskan kepada Sekutu, ihwal alasan mereka bekerjasama dengan Jepang. Panitia inilah yang di isyu oleh kaum kiri sebagai Comite van Onvangst, panitia yang akan menangkapi para tokoh pejuang pro kemerdekaan.
Kemudian propaganda revolusioner, seperti “rajar-raja penghisap darah rakyat”, “kaum feodal yang harus dibunuh” dan lagu “Darah Rakyat” menggema di seantero Sumatera Timur. Khusus di Simalungun, para eksekutor (laskas revolusi) ini adalah (kebanyakan ) etnis non Simalungun. Selain A. E. Saragih yang menjadi eksekutor di lapangan, tidak diketahui apakah ada etnis Simalungun alain yang duduk di belakang layar mendesain tindakan biadab itu.
Berdasarkan dokumen rahasia dari pihak Sekutu tanggal 2 Maret 1946 (sehari sebelum revolusi) sudah mereka ketahui bahwa PKI dan Barisan Harimau Liar berkolaborasi dalam tindakan biadab di Simalungun. Selain itu, Volksfront (front perjuangan rakyat) dan PARSI yang terbentuk pertengahan Februari 1946 yang mana “Pasukan Kelima” dari dr. F. J. Nainggolan turut bergabung. Lalu Organisasi Pemuda Pejuang (PESINDO) telah disusupi dan dipengaruhi oleh PKI.
Tetapi yang lebih mengejutkan dari penelitian Tengku Luckman Sinar, ternyata aksi revolusi sosial itu ternyata sudah sejak lama direncanakan pihak Belanda, yakni sejak tahun 1906, dimana wilayah kekuasaan dan otorisasi kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur berhasil dikerdilkan, bahkan ada yang dihapus, seperti kerajaan Riau (1911). Pada tahun 1926, Belanda sudah mengangkat panitia untuk gagasan “pemberangusan raja-raja di Sumatera Timur,” yaitu Extraterritorialiteitcommisie yang bertujuan bahwa wilayah pemerintahan sendiri (kerajan-kerajaan) yang otonomi itu harus dilenyapkan secara perlahan-lahan dan tatkala raja-raja sudah tidak ada lagi maka demokrasi lokal akan berkembang dan lenyaplah kerajaan bumiputera itu. Dan untuk tujuan itu, Belanda telah memakai agennya bernama dr. Amir, Wakil Gubernur Sumatra kala itu, seorang theosof lulusan Belanda yang beristrikan seorang Belanda. Dr.Amir membelot ke NICA pada 23 April 1946 dan meninggal di Belanda tahun 1949.
Pembantaian atas kaum bangsawan Simalungun ini memang sejarah yang sulit diterima logika. Dengan tuduhan sebagai “antek penjajah” yang dialamatkan kepada kaum bangsawan Sumatera Timur, dan atas tuduhan ini dijadikan dasar untuk tindakan pembantaian, perampokan bahkan pemerkosaan. Perbuatan keji, amoral dan tidak manusiawi, tindakan manusia-manusia yang tidak ber-Tuhan. Hasil Penelitian Tengku Luckman Sinar membuktikan bahwa tindakan segerombolan orang yang mengaku “republikein” itu merupakan proyek rahasia dari Markas Agung, yang kala itu dipimpinan oleh para “komunis” Sarwono dan Zainal Baharuddin dan Saleh Umar serta eksekutor lapangan A. E. Saragihras dari Barisan Harimau Liar (BHL) di Simalungun.
Dalam rekam pemeriksaan oleh pihak berwajib, para eksekutor ini mengaku bahwa tindakan membabibuta itu digerakkan atas perintah Sarwono, Saleh Umar dan Yacob Siregar sebagai gembongnya. Yaitu untuk melenyapkan sistem kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur, yang dituduh sebagai penghalang kemerdekaan Republik Indonesia. Eksekusi dilaksanakan mulai pukul 00.00 WIB tanggal 3-4 Maret 1946 tepat pada saat Gubernur Sumatera, Teuku Mohammad Hasan, tidak berada di kota Medan. Ternyata Gubernur sudah “sengaja” diatur Markas Agung untuk melakukan kunjungan ke Sumatera Selatan. Karena keberadaan Gubernur Teuku Mohammad Hasan di Medan dianggap akan menjadi penghalang rencana Markas Agung tersebut.
Teuku Hasan menulis: “Firasat itu benar, 1 Maret bertempat di kediaman Mr. Luat Siregar di Medan, volksfront/PKI—M. Yunus Nasution dan Marzuki Lubis bersama divisi IV-TRI-Kol. A. Tahir dan Mahruzar (adik Sutan Syahrir), dan dengan bantuan wakil gubernur Moh. Amir—bermusyawarah untuk menumpas kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur pada tanggal 3 Maret 1946. [21]Wakil Gubernur Mohammad Amir yang sepaham dengan Markas Agung (Residen Abdul Karim) mengatur perjalanan Gubernur mulai 6 Februari 1946. Di saat Gubernur tidak berada di Medan, dilancarkanlah aksi pembantaian tersebut. Sehari sebelum Gubernur berangkat ke Sumatera Selatan, Residen Sumatera Timur,Tengku Hafas (yang kemudian dipecat Markas Agung), mengunjungi Gubernur Teuku Mohammad Hasan di rumahnya. Hafas mengungkapkan firasat buruknya bahwa sepeninggal Gubernur Teuku Mohammad Hasan akan terjadi suatu peristiwa.
Source, klik disini
Kronologi Revolusi Sosial “Biadab” Sumatera Timur , 1946
Pada tanggal 3 Februari 1946 diadakan Rapat Komite Nasional Indonesia (KNI), para Raja-raja Simalungun, Karo Sibayak dan Sultan seluruh Sumatera Timur, kemudian menyatakan “ikrar” di hadapan Gubernur Mohammad Hasan, Wakil Gubernur dr. Moh. Amir, Tengku Hafaz, Abdul Xarim MS dan pejabat Republik lainnya, untuk mendukung dan berdiri di belakang pemerintah Republik Indonesia. Para Sultan dan Raja-raja Sumatera Timur yang hadir diantaranya : Sultan Siak Sri Indrapura dari Riau. Dari Simalungun hadir Raja Panei Tuan Bosar Sumalam Purba Dasuha, Raja Purba Tuan Mogang Purba Pakpak, Raja Silimakuta Tuan Padiraja Purba Girsang yang sudah aktif di Markas Agung, Raja Siantar Tuan Sawadim Damanik, Raja Raya diwakili Tuan Jan Kaduk Saragih Garingging dan Raja Tanoh Jawa Mr. Tuan Kaliamsyah Sinaga.
Rapat Komite Nasional Indonesia (KNI) itu dipimpin oleh Ketua KNI Sumatera Timur Mr. Luat Siregar. Sultan Langkat pada waktu itu mewakili seluruh pemerintah swapraja Sumatera Timur mengucapkan pidato yang salah satunya berbunyi: “Kami sultan-sultan dan raja-raja telah mengambil keputusan bersama untuk melahirkan sekali lagi itikad kami bersama untuk berdiri teguh di belakang Presiden dan Pemerintah Republik Indonesia dan turut menegakkan dan memperkokoh Republik kita”. Demikian tegas pernyataan para bangsawan ini, aksi pembantaian tetap berlangsung dan diiringi tindakan keji perampokan harta benda para kaum bangsawan, pembakaran dan perusakan istana kerajaan bahkan pemerkosaan.
Di Istana Tanjungpura, Kesultanan Langkat, 2 puteri Sultan Langkat diperkosa oleh Republiken. Demi menyelamatkan nyawa ayah mereka, Sang Sultan Langkat, kedua putrid Sulatan Langkat terpaksa bersedia melayani nafsu berahi “binatang” yang kemudian dikenali bernama Marwan dan Usman Parinduri. Kebiadaban dituliskan oleh Tengku Luckman Sinar, “… kedua puteri itu meraung kesakitan dan setiap rintihan merupakan pisau sembilu menusuk jantung Sultan yang mendengar ….”
Di Simalungun, pembataian dikomandoi Komandan Barisan Harimau Liar (BHL), A. E. Saragih Ras. Padahal A. E. Saragih Ras masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Raja Kerajaan Panei. Menurut Tengku Luckman Sinar : “Kebanyakan pelaksana Pembantaian raja-raja di Simalungun adalah orang-orang ari suku Toba, meskipun pimpinan utamanya adalah Saragihras dan Saleh Umar. Kedua orang inilah yang memberikan instruksi rahasia untuk menangkapi raja-raja di Simalungun kepada Pesindo”.
Adalah Mohammad Said, yang mewawancarainya AE. Saragihras dipenjara, setelah para pelaku pembataian ditangkap dan dihukum. Menurut pengakuan Saragihrasi, bahwa dia pada tahun 1944 sudah menjadi anggota Kenkoku Teisintai (Barisan Harimau Liar) yang dibentuk Inoue dan tahun 1945 memimpin BHL. Perintah menghabisi para raja itu diperoleh atas perintah Sarwono pimpinan Markas Agung dan Sekretaris Zainal Abidin yang mengunjunginya menyampaikan perintah rahasia itu. Saleh Umar pimpinan tertinggi Markas Agung waktu itu sempat dimintai ketegasan hitam di atas putih oleh Saragihras, namun dijawab oleh Saleh Umar mengatakan : “Perintah ini adalah rahasia dan sayalah yang menanggung akibatnya”. Masih menurut Saragihras : “Dari perintah Saleh Umar itu, raja-raja yang dianggap penghalang kemerdekaan yang harus dihabisi adalah Raja Panei Tuan Bosar Sumalam Purba Dasuha, pemangku Raja Raya Tuan Jan Kaduk Saragih Garingging dan lain-lain.
Untuk Kerajaan Tanoh Jawa, pembatai kaum bangsawan dipercayakan kepada Bagus Saragih , Pimpinan PKI di Tanoh Jawa. Harta rampasan dari para bangsawan itu kemudian diserahkan pada awal tahun 1949 kepada Mohammad Saleh Umar, yang waktu itu telah diangkat menjadi Residen Sumatera Timur (setelah menggulingkan Tengku Hafaz). Harta benda bangsawan itu pernah dipakai sebanyak dua kali, pertama untuk membiayai perbekalan TNI di Sidikalang dan kedua, ketika mereka berada di Pasar Matanggor (Tapanuli Selatan) untuk membeli senjata dari Singapura yang untuk ini ditugaskan Saleh Umar kepada saudagar Tionghoa Oei Boen Tjoen yang ternyata melarikannya. Selanjutnya harta benda yang tersisa diserahkan kepada komandan teritorium Sumatera Kolonel Alex Kawilarang pada tahun 1950. Yang sempat dirampas Belanda sempat disimpan di kluis NHM Pematangsiantar dibawah pengawasan Teuku Mohammad Hasan dan dikembalikan kepada pemiliknya tahun 1948.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar